Thursday, July 3, 2008

Arsitektur Kota Anti Kota

M. Ridwan Kamil


Suatu sore temaram di Kuala Lumpur. Udara di Bukit Bintang Walk terasa sangat menyenangkan. Dari teras sebuah kafe, secangkir cappuchino hangat pun saya seruput dengan perlahan. Tiap menit, koridor jalan ini begitu hidup dengan lalu lalang para pelancong dan warga lokal. Toko, restoran dan kafe pun buka sampai larut malam. Cahaya dari dalam toko menghangatkan suasana. Kaca-kaca transparan di restoran dan café membuat rasa aman para pelancong seperti saya. Di sini, Starbucks pun digelar ala kaki lima di jalur pejalan kaki.

Sepanjang mata memandang, suasana dan cuacanya mengingatkan saya dengan kota Jakarta atau Bandung. Namun di sini terasa ada yang berbeda. Di sini tercium aroma Asia yang terasa lebih bersahabat. Terasa jauh lebih beradab. Koridor ini terasa seperti ruang keluarga. Sebuah ruang sosial yang hangat.

Kuala Lumpur, seperti halnya kota-kota dunia yang masuk kategori ‘world great cities’ umumnya memiliki kepedulian akan pentingnya ruang-ruang sosial kota. Dari London sampai Shanghai, dari New York sampai Singapura, semua memperhatikan ‘social space’ sebagai bagian dari ruh kehidupan sebuah kota. Kemajuan peradaban, teknologi dan kompleksitas budaya tidak seharusnya merusak definisi bahwa kota adalah untuk manusia.


Ruang sosial kota pun tidak melulu berupa alun-alun atau taman kota, tapi justru koridor jalan lah yang merupakan ruang sosial kota terpenting. Di sanalah deretan bangunan hadir dan bersentuhan dengan publik. Di sana pula, umumnya berjajar karya arsitektur pro publik yang sensitif menghidupkan kota atau malah berderet karya arsitekur anti publik yang mematikan ruh kehidupan kota.


***

“The city is the people” begitu ungkapan sebuah pepatah tua. Begitu dalam maknanya, namun begitu berat mengaplikasikannya. Di Jakarta, kehidupan kota lebih terbiasa diselami dari balik jendela mobil. Kasihan orang Jakarta. Sudah diberi iklim panas tropis, tidak ada pula sarana untuk berbudaya urban yang positif karena memang tidak pernah disediakan secara memadai. Tidak disediakan karena tidak menjadi prioritas. Tidak diprioritaskan karena kita umumnya tidak memiliki mentalitas membangun ruang publik.

Mentalitas anti budaya urban ini juga lahir dari lingkungan fisik yang dirancang para arsitek. Banyak arsitek yang memiliki proyek-proyek komersial dan dalam skala besar tidak memiliki sensitivitas terhadap konteks kota. Mereka hanya fokus pada arsitekturnya tidak pada konteksnya. Sehingga bermunculan belasan dan puluhan bangunan-bangunan anti urban yang semakin akut.

Apa ciri-ciri desain anti urban?

Fungsi non-publik di lantai dasar.

Salah satu ciri kota yang aktif secara positif adalah hadirnya fungsi-fungsi publik atau retail di lantai dasar sebuah bangunan. Di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, lantai dasar sebuah bangunan besar umumnya adalah ruang lobi formal yang tidak menyumbang apa-apa bagi kehidupan kota. Lihat Hong Kong. Sepanjang kita berjalan semua lantai dasar bangunan-bangunannya selalu diisi oleh toko, retail, kafé atau fungsi-fungsi publik yang membuat kota hidup dan atraktif sampai larut malam.

Kapling-kapling egois

Manusia sebagai mahluk sosial berkewajiban berperilaku sosial yang positif dan bertoleransi antar sesama. Begitu pula arsitektur kota. Seharusnya antar bangunan satu dengan lainnya bertoleransi dengan memberikan ruang untuk kelancaran publik bernegosiasi terhadap ruang kota. Di Bukit Bintang Walk di Kuala Lumpur, antar bangunannya tidak di kapling-kapling dan dibentengi ala Jakarta. Pedestrian di sana leluasa bergerak dari satu bangunan ke bangunan lain. Bahkan di Hong Kong antar bangunan dikoneksi dengan jembatan untuk publik.

Parkir dan drop-off di halaman depan.

Ruang paling berharga dalam konteks kota adalah ruang terbuka di depan bangunan, yaitu area dari batas lahan ke garis sempadan bangunan. Sayangnya para arsitek di Indonesia dengan rasa tidak bersalah selalu menjadikannya sebagai ruang parkir dengan drop-off formal. Parkir sebenarnya bisa langsung ke basemen dan drop-off bisa dari jalan samping atau di dalam kapling. Area inilah yang bisa berpotensi menjadi ruang sosial publik berupa ruang hijau, ruang duduk atau ruang luar dari sebuah kafe di lantai dasar. Perilaku desain ini yang dihadirkan di ratusan bangunan di kota-kota besar di Indonesia benar-benar mematikan potensi lahirnya kehidupan yang beradab dan aktif.

Banyak yang tidak sadar, perilaku negatif yang sedikit banyak dilakukan oleh para arsitek inilah yang mematikan budaya urban yang seharusnya lahir oleh arsitektur kota yang baik. Ibaratnya seperti aborsi yang membunuh bayi dalam kandungan sebelum ia lahir.

Jadi bagaimana mau bermimpi memiliki budaya kota yang baik, jika esensi tentang arsitektur kota saja kita tidak pahami.

3 comments:

Just For Education said...

bagaimana kita bisa melihat suatu perubahan kota yang tentunya menuju ke arah yang lebih baik, sedangkan msh banyak penduduk kita yang masih bisa dibilang ketinggalan jaman (primitiv),dgn cara atau melalui bahasa apa, agar semua yang kita upayakan dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat......

mohon maaf dan terima kasih....
dgn membaca ini saya sangat terinspirasi dan termotivasi sekali...terima kasih wassallam

Andri Kurniawan said...

setuju om, emang kudu aya 'seimbang dan selaras' antara pengguna, penghuni, bagunan dan alam.

kayaknya kudu aya diasupkeun elmu khusus ttg ini di kurikulumna buat jur arsitektur di semua kampus om. yah itung2 buat om bakal didukung sepenuhnya sama dinas tata kota ttg ginian. kan lebar atuh lamun kota bandung ato kota2 lainnya di negri ini berantakan dlm pemanfaatan ketatahunian....:)

Anonymous said...

Sepaham, pak Emil.

Kota dibentuk dan dipengaruhi oleh kultur orang yang mendiaminya selama rentang waktu yang lama. Sedikit mundur ke belakang melihat jakarta, bogor, malang, surabaya, dan kota besar lain di indonesia. Masa belanda dan soekarno hingga tahun 1965. Merasa ada proses pembentukan kota yang humanis dan manusiawi di sana. Jika merasakan ketidaknyamanan saat ini, artinya ada proses tumbuh liar yang terjadi di kota-kota kita selama kurun waktu 43 tahun ini. Dari sini kita bisa mereview apa dasar permasalahan yang melatar belakangi. Sosial? Budaya? Politik? Ekonomi? Pendidikan?

Selalu ada mimpi. Setidaknya masih ada desa di luar kota.