Friday, July 4, 2008

Membangun Denyut Kota dengan Arsitektur!

Senin, 2008 Mei 19

Sudah 2 minggu berlalu semenjak kepulangan saya setelah Urbane Fellowship Program, Ini adalah rangkuman kecil dari perjalanan saya, apa yang bisa saya dapatkan dari program ini. Semoga berguna.

[1]

Orang orang berjalan cepat, bergegas gegas menuju pedestrian. Semakin gelap matahari menunduk, kerumunan semakin menumpuk. Dalam kegegasan, manusia-manusia kemudian berkumpul dan berjubel menjadi satu. Semakin malam semakin meriah, semakin penuh sudut sudut dan pinggir jalan La Ramblas. Masih dalam kekagetan setelah tersedak dari metro (semacam kereta bawah tanah) setiap penjaja berebut menawarkan beberapa macam bunga, buku dengan harga cukup murah. Seakan tidak turut dalam kesedihan setelah kesebelasannya kalah dengan inggris pada sore harinya, semua orang tampak berseri membawa bunga di tangan kanan, buku di tangan kiri, bagi yang belum, pastinya sedang sibuk mengantri di jejeran booth penjaja buku di sekitar jalan tersebut.

Pasangan-pasangan menghiasi dengan menunjukkan kemesraanya dalam ciuman, pelukan, belaian dan pemberian buku dan bunga, sebagai afeksi kasih sayang bukan sebagai pertunjukan laiknya pendapat manusia indonesia kebanyakan bila melihat hal tersebut diruang publik.

Saat ini Barcelona sedang merayakan hari Saint Jordi, hari untuk merayakan kasih sayang dengan memberikan bunga “dan uniknya“ disertai dengan buku kepada pasangan atau orang yang dikasihi. Sungguh unik karena buku buku yang dijual adalah buku novel karangan penduduk lokal, Festival menarik yang justru menumbuhkan minat baca dan terdongkraknya produksi industri kreatif bidang literatur. Semua kegiatan ini kemudian terwadah dalam jalan, bangunan, dan plaza yang tersusun baik. bangunan bangunan unik pun mengisi baik modern dan tua berdampingan memperkaya kota. pemerintah yang jeli terhadap keberadaan arsitektur ini kemudian memberikan kemudahan akses terhadap informasi dan transportasi kota. Peta peta pusat belanja, makanan dan objek arsitektur bertebaran mengisi rak-rak pusat informasi wisatawan. Lain halnya dengan madrid, sebagai pusat aktifitas dan ibukota Spanyol, Madrid menjadi “Parisnya” Spanyol, sebagai pusat mode dan desain desain kontemporer yang telah dikenal oleh banyak negara. Desain Fashion seperti Zara dan Camper muncul, berkembang di spanyol dengan berbagai pameran bertaraf internasional yang berlangsung tiap tahunnya sebagai trend setter baru dunia desain.

[2]

Barcelona dan seluruh kota spanyol lainnya memang sedang mengembangkan dirinya sebagai pusat tujuan wisata dan industri kreatif di spanyol. Beranjak dari pembenahan kota Barcelona untuk Olimpiade 1992 dengan membuat infrastruktur secara besar besaran menghubungkan 150 area publik dan wisata, mengisi taman dan ruang publik dengan air mancur, mosaik dan patung yang berdampak membuat masyarakatnya merasa lebih nyaman, lebih termotivasi dan loyal terhadap kotanya. Sejak itu pengembangan kota tidak berhenti dan merambah ke desain, seni dan budaya. “tujuan utamanya adalah menimbulkan, menarik, dan menyimpan talenta inovatif dan kreatif” ucap Francesc Santacana, direktur Strategic plan of Barcelona. Sebut saja rencana pengembangan rel kereta dan tram baru, Pengembangan pusat superkomputer MareNostrum, taman sustainable b_TEC, The Parc Barcelona Media, penataan kembali 200 hektar area Pobllenou Quarter yang sebelumnya dipakai sebagai daerah industri, pembuatan pusat desalinasi air yang memproduksi 200.000 kubik air perhari dan masih banyak daftar lagi dalam pembenahan kota yang berisi 3 juta penduduk ini.

Arsitektur dan kota memang menjadi salah satu pemegang peranan penting dalam industri pariwisata di Spanyol dan kota lainnya di eropa. Bilbao effect walaupun terdengar teoritis, namun pada kenyataanya benar benar memberikan sumbangsih yang positif bagi kota dengan meningkatnya wisatawan ke daerah tersebut, dan munculnya kegiatan kegiatan lain yang memberikan sumbangsih ekonomi kota yang signifikan. Tak hanya di Bilbao, namun arsitektur bisa menjadi generator kota seperti Pompidu Centre di Paris, Al Hambra di Granada, Mercedez Benz Museum di Stuttgart, Phaeno Science Centre di Wolfsburg menjadi salah satu rangkaian bangunan yang bisa meningkatkan aktifitas kota dan menjadi kebanggaan penduduk sekitarnya. Hotel-hotel, restaurant, kafe, dan gallery bermunculan sebagai dampak meningkatnya aktifitas kota karena antusiasme wisatawan untuk mengunjugi bangunan bangunan tersebut. Secara khusus bangunan dengan ikon ini membuka dimensi baru dalam menstrukturisasi kota, karena bangunan ini memiliki ruang dan “terbentuk” dengan cermat yang menghasilkan sumbangan signifikan bagi kota pada skala yang besar. Bahkan dalam keperluannya, arsitektur digunakan sebagai politisi branding produk sebagai media marketing baru dengan menyungguhkan arsitektur yang spesifik atau branding produk termasuk fashion seperti Prada, Louis Vuitton dan Hermes.

[3]

menurut Richard Florida, Eropa dan Amerika telah meningkatkan kegiatan kreatif hingga 30% beranjak dari sekor industrial menuju sektor kreatif. Ini terbukti dengan meningkatnya gerakan dan merebaknya kegiatan kreatif di berbagai sektor oleh penduduknya, “Creativity is the motor force of economic growth!“ ucapnya. Tak segan segan contohnya adalah London yang menobatkan dirinya sebagai Creative London dengan menunjang segala kegiatan industri kreatif di kotanya, mulai dari pameran seni, pertunjukan hingga tata kota. Diharapkan dengan meningkatnya industri kreatif di berbagai bidang akan meningkatkan devisa negara sebesar 22 milliar poundsterling lebih tinggi dari total produksi industri dan menjadi pemasukan kedua setelah sektor bisnis yang senilai 32 miliar poundsterling. secara keseluruhan, sektor kreatif sebagai pengisi tenaga kerja terbanyak ketiga di London sebanyak 525.000 pekerja. Dari arsitektur hingga periklanan, dari pertunjukan seni hingga penerbitan digalakkan sebagai pemacu kehidupan kota.

[4]

Sudah saatnya Indonesia memberikan peranan penting kepada industri kreatif dalam meningkatkan ekonomi kota-kotanya, khususnya arsitektur. Menata kota dengan baik, menerapkan peraturan, menciptakan ruang publik, dan menciptakan generator kota, sehingga diharapkan terciptanya aktifitas kota baru.

Dengan memberikan penataan bangunan atau kawasan penanda baru, diharapkan kota-kota di Indonesia memiliki keunikan tersendiri sebagai bagian dari negara yang lebih besar untuk menunjang kebutuhan antar kawasan yang mempunyai koneksi terhadap kawasan lain. penanda dalam hal ini berbeda dengan ikonik, yaitu sebagai bangunan atau kawasan yang beranjak dari bentuk mengarah pada keragaman program untuk mengakomodasi berbagai macam kegiatan yang memicu berbagai aktivitas dalam kota, dibandingkan ikonik yang hanya sebagai perayaan atas bentuk dari kegiatan, waktu ataupun tempat, terkadang menjadi sekedar kolase dan tak berarti banyak untuk kota, seperti ucapan Gehry, “Architecture should speak of its time and place, but yearn for timelessness.

Indonesia dengan berbagai kebudayaan, tanah, adat, kulinari, dan bahasa menjadi salah satu kelebihan yang seharusnya bisa menjadi daya tarik tersendiri, sebagai bagian kekayaan yang

bila diolah dalam ruang, arsitektur dan kota dengan baik akan memicu, bukan lagi menimbulkan cipratan parkir motor dan warteg murah disekitar mall tetapi ledakan ekonomi yang besar, yang tentunya ditunjang dengan perangkat kota yang baik juga. Beberapa kompetisi desain bangunan dan penataan kawasan kota akhirnya banyak terhenti tergantung pada masalah biaya, konflik, ketidak percayaan investor, dan kurang siapnya penduduk berkota.

Sudah saatnya kah semua berperan dalam membentuk kota kita? Harusnya kita mulai sadar, menurut Canada Art Council mengatakan bahwa kota tidak akan mengundang bisnis atau investasi baru dan perkembangan lapangan kerja, bila kreatifitas bukan menjadi komponen rencana strategi ekonomi, kreatifitas adalah mesin dari sistem ekonomi baru.tahukah bahwa banyak dari arsitek kita memiliki prestasi dan sudah dikenal di manca negara. Sebutlah Sibarani Sofyan yang desain masterplannya berada di manca negara, Ridwan Kamil yang proyeknya bertebaran di dubai, china, dan indonesia, Andra Matin dan Budi Pradono yang karyanya sudah merambah ke publikasi dan penghargaan internasional dan beberapa arsitek termasuk arsitek muda kita yang banyak terlibat dalam proyek mega billion di kantor-kantor starchitect di luar negeri.

Belum lagi banyak prestasi dan sayembara desain arsitektur yang berhubungan dengan kawasan dan bangunan publik skala besar internasional maupun nasional yang dimenangkan oleh arsitek kita. Tapi pada kenyataannya keseluruhan kegiatan terhenti karena ketidak jelasan penyelenggaraan, masih tingginya KKN dalam proyek-proyek besar yang dianggap sebagai tempat meraup kekayaan sesaat, ketidak jelasan infrastruktur asosiasi desain termasuk arsitektur dinegara kita, dan belum lagi ketidak percayaan asing terlebih masyarakat kita sendiri terhadap arsitek Indonesia.Namun dalam berbagai sisi sudah banyak usaha usaha meningkatkan kegiatan arsitektur untuk kota kita yang lebih baik. Diskusi diskusi terbuka, open house Arsitektur hingga forum berbau arsitektur mengisi jurnal keseharian.

Arsitektur menjadi debat dan mediasi baru, beranjak menunjukkan giginya walaupun masih dalam skala kecil sebagai akupuntur yang memperbaiki kota melalui titik titik kecil yang diharapkan berdampak luas pada tubuh kota secara keseluruhan.

Dalam bayangan nanti, pilu memasuki negara sendiri melalui gerbang bata yang semakin menua dan tak terawat, belum lagi ditambah dengan sambutan preman-preman taksi menunggu di luar...

Inilah saatnya kita merebut kembali kebudayaan kita, meninggalkan trauma historis penjajahan dan mental priyayi untuk maju, berkesempatan membangun dengan lebih baik dan memberikan sumbangsih arsitektur yang bermafaat luas bagi kota kita.

Saatnya desain menunjukkan tingkat pikir yang lebih matang dan beradab, menaikkan sebuah nilai dalam masyarakat, nilai yang lebih dibandingkan sebuah kebiasaan dan sekedar fungsi.seperti kata Peter Eisennman “To be an architect is a social act

frankfurt, 04.mei.2008 20.05

menyambut 100 tahun kebangkitan nasional, Oleh Paskalis Khrisno Ayodyantoro, untuk Urbane Felowship Program 2007. Foto-foto perjalanannya dapat dilihat di http://www.flickr.com/photos/bincang2cupleez/

Kota cantik yang tidak sekedar bedak arsitektural.

Peran Arsitek dalam Menata wajah kota.

Paskalis Khrisno Ayodyantoro

[1]

Beberapa bulan lalu, seorang bapak tua baru saja turun dari pesawat yang membawanya dari Eropa ke Indonesia. Begitu di terminal kedatangan Bandara Soekarno Hatta, ia tampak bersemangat melihat ke buku kecilnya dan terdiam begitu lama. Terlihat kecewa, iapun berlalu, berpapasan dengan saya kemudian berbincang sejenak. Sebagai Arsitek, saya merasa prihatin, wisatawan itu telah memetakan semua objek wisata budaya dan historis di Jakarta, namun ia belum menemukan bangunan arsitektural yang menarik untuk dikunjungi. Terlebih, karena saya hanya bisa menjawab daerah sekitar kota tua, Monas, Taman Mini, Senayan City? Lalu....


Gambar 1: Salah satu representasi kota Jakarta di bawah jalan layang Cipinang, sekarang, yang menggambarkan pembangunan yang kurang terencana, seringkali merusak wajah kota. Mungkinkah suatu saat kawasan ini bisa menjadi kebanggaan warganya dan dikenal dunia? (Paskalis/2005)

Kembali ke jaman Soekarno, pembangunan terasa pesat dimana-mana. Daerah dan bangunan baru berskala kota bermunculan, seperti Stadiun Senayan, Masjid Istiqlal, dan Kawasan Monas menjadi salah satu usaha Soekarno menjadikan Jakarta sebagai ibukota yang unik dan mengangkat harga diri bangsa pada saat itu. Lalu kawasan dan bangunan apakah yang merepresentasikan jakarta sekarang ini yang dapat menjadi kebanggaan warganya dan dikenal dunia?

Inilah salah satu wajah jakarta, setiap tahunnya.

[2]

Di lain tempat, seorang wisatawan tampak antusias menyandang tas besarnya, menjelajahi sebuah jalan yang menjadi daya tarik negara tersebut. Sembari melepas lelah, ia duduk, membuka laptopnya dan kemudian mencari informasi tentang alamat dan letak bangunan yang akan ia kunjungi lewat bantuan wireless internet yang bertebaran disetiap tempat umum. Dalam sekejap, wisatawan itu mengepak laptopnya, kemudian pergi menuju stasiun MRT (mass rapid transportation) terdekat dengan tersenyum puas.

gambar 2: gambaran Kawasan Marina Bay, Singapura pada waktu malam, dan salah satu jalan yang akan digunakan sebagai track formula one 2008, terlihat dibelakang, deretan bangunan tinggi dan bangunan Esplanade sebagai ikon baru, yang membentuk keindahan sebagai kawasan waterfront(Paskalis/2007)

Singapura memang sedang menggalakkan kotanya sebagai tujuan wisata internasional serta sebagai tempat tinggal yang menyenangkan, dengan semangat “To Make Singapore A Great City to Live, Work and Play In”, Singapura berusaha membuat kotanya menjadi kota yang ramah dan dapat di akses oleh siapa saja. Dibentuknya URA(Urban Redevelopment Authorities) memberikan hasil yang postif bagi perencanaan kotanya. Setiap lahan yang berada di Singapura diawasi dan diatur perkembangannya oleh pemerintah demi kenyamanan bersama. Informasi perencanaan kawasan dapat diakses langsung melalui internet atau kantor dan museum URA oleh siapa saja. Dengan cara ini, pemerintah dan masyarakat dapat bersama-sama mengawasi perkembangan kotanya, sehingga dapat terjalin keterlibatan masyarakat (advocacy) dalam perencanaan kota.

Terlebih dengan adanya keinginan singapura sebagai pusat ekonomi kreatif asia, didukung gerakan nasional tahun 2005 yang berisikan : Design Singapore, Media 21 dan Rennaisance City 2.0, mereka berharap adanya peningkatan ekonomi sebanyak dua kali lipat dalam tujuh tahun. Gerakan ini diimbangi dengan pengembangan kawasan waterfront Marina Bay sehingga bisa menjadi kawasan destinasi pariwisata internasional. Singapura kemudian membuka kawasan ini dan mewajibkan ketentuan desain yang unik serta standar arsitek kaliber dunia(starchitects) bagi setiap bangunan yang akan dibangun di area ini. Sebutlah Michael Graves, KPF, Aedas dan Moshe Safdie, sudah ditunjuk untuk membangun di kawasan ini, belum disebutkan arsitek lain yang telah membangun di kawasan lain, seperti Zaha Hadid, Toyo Ito, SMC Alsop, Fumihiko Maki, dan lainnya. Tidak terlewat rencana tahun 2008, sebagai tuan rumah pertama kalinya penyelenggaraan balap mobil Formula One malam ditengah kota membuat Singapura semakin menarik. Hal ini terwujud tak lain karena kesiapan struktur dan rencana kotanya sendiri.

Mengintip Singapura, perlu juga kita menilik pembangunan daerah Bilbao, Spanyol. Salah satu kota terbesar di Spanyol ini sempat turun citranya karena adanya serangan. Pemerintahnya kemudian mengambil inisiatif untuk merubah kotanya secara besar-besaran, dari citra kota industri menjadi kota budaya yang dibangun oleh arsitek kaliber internasional. Dalam beberapa saat, Bilbao menjadi kota yang menarik. Mulai dari bandara buatan Santiago Calatrava, jalur transportasi Norman Foster, kawasan komersial Caesar Peli hingga museum Guggenheim oleh Frank Gehry.

Perkembangan asitektur yang dipuncaki oleh pembangunan Museum Guggenheim tahun 1997 tersebut kemudian membuat Bilbao effect dimana sebuah arsitektur dan perencanaan kota dapat merdampak pada meningkatnya aktifitas pariwisata dan berlanjut kemeningkatnya aktifitas di segala bidang. 1,37 juta pengunjung memberikan 147 juta dolar US pada ekonomi lokal pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 170 juta dolar US pada tahun berikutnya. Bahkan dalam waktu 3 tahun, pemerintahnya telah berhasil mencapai break even point untuk pembangunan museum.

[3]

Menurut Sosiolog Bintarto, kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik. Bayangkan ketika masing-masing arsitek diberikan tugas untuk membangun, tanpa sensivitas urban serta permasalahannya, maka akan terjadi kechaosan, karena masing-masing arsitek berlomba membuat tanda atau mengkontraskan(contrasting) bangunan mereka terhadap lingkungannya.

Mengacu dari ekonom terkenal Phillip Kotler, Jakarta kini sedang mengalami City decay dynamic, karena memekarnya penduduk kota ke sub-urban yang disebabkan tingginya biaya hidup dan tidak terwujudnya penataan permasalahan high density dan untuk mengembalikan citra kota menjadi positif kembali, perlu diadakan perubahan citra dan identitas kota yang melibatkan seluruh kota seperti apa yang dilakukan oleh Singapura, dan Bilbao.

[4]

Kita mulai sadar akan ketimpangan produk kapitalisme yang mulai merambah ke ruang sosial dan budaya kita sehingga menciptakan sebuah kesenjangan yang signifikan. Maka dari itu perlu adanya strategi untuk mengembalikan jati diri dan budaya kota, agar arsitek tidak lagi silau oleh keagungan kecantikan yang ditawarkan oleh desain arsitek asing yang terkadang tidak kontekstual dengan kota kita.

Srategi yang pertama adalah Arsitek berkampanye tentang kesadaran (ber)arsitektur yang baik. Dengan melakukan peyuluhan bangunan, kampanye sosial, pendidikan dini, peraturan bangunan yang pro terhadap semua golongan. Arsitektur kemudian menjadi debat publik tentang bagaimana mengisi ruang kota yang baik sehingga kaidah “architecture should reflect continuity and connectivity of culture, climate, and craft.” dapat terwujud dengan baik.

Yang kedua adalah arsitek mengikutsertakan sasaran pengguna dan masyarakat (advocacy) dalam mengambil keputusan, mengawasi proyek, dan merawatnya.Termasuk kawasan slums(daerah kumuh yang diakui sebagai permukiman) dan kawasan squatter elements(permukiman liar yang menempati lahan yang tidak ditetapkan) yang diisi oleh masyarakat ekonomi bawah. Sehingga bersama masyarakat, arsitek dapat membangun kota yang lebih baik.

Ketiga, Arsitek berperan dalam pengambilan keputusan dalam setiap proyek. Kebanyakan pembangunan komersial hanya berlomba-lomba menjadi landmark yang merusak tatanan visual kota demi keuntungan sepihak. Arsitek menurut Ridwan Kamil diharapkan bisa memiliki kemampuan project visioning dalam mempengaruhi keputusan proyek sehingga bisa meningkatkan kualitas kawasan dalam proyeknya. Dengan memahami sensitivitas urban, arsitek bisa memberikan input bagi pemilik kapan saatnya bangunan akan menjadi kontekstual(context) atau kontras(contrast) dengan lingkungannya.

Dan yang terakhir, Arsitek berperan dalam memberikan ide kreatif solusi pemecahan masalah-masalah arsitektur-urban dengan keluar dari trend setter yang ada. Arsitektur kemudian bisa memberikan cara pandang baru sebagai kendaraan dan solusi untuk mengakomodasi permintaan politik, budaya, sosial, dan ekonomi kota.

Arsitektur kemudian meningkatkan produktifitas kota karena telah sebagai destinasi, menaikkan ruang publik-sosial terbuka, dan menurunkan efek pemekaran kota(urban sprawl) menjadi kota berkepadatan tinggi(high density). Namun tidak lupa mengutip kata Robert A.M.Stern, Memang banyak ruang kota yang terbuang, dan belum terolah. Kita tidak membutuhkan arsitek untuk menteorikan hal tersebut, tetapi menjawab “bagaimana menyediakan solusi hidup yang baik?”, menjadi tanggung jawab utama seorang arsitek daripada hanya berlomba meninggalkan tanda atau jejaknya di ruang kota melalui sekedar bentuk. Tanggung jawab yang menjadi conditio sine qua non(syarat mutlak yg tidak bisa ditawar) sebagai sensitivitas dalam konteks urban. Dengan meningkatnya perbaikan wajah kota, maka diharapkan terwujudnya a beautiful city. Daftar Pustaka :

• Ardian, Bagus. Teori Pertumbuhan Kota, http://www.p2kp.org/. 9/11/07 1:51 AM.

• Ardian, Bagus. Citra Lingkungan Perkotaan, http://www.p2kp.org/. 9/23/2007 6:34 PM

• Budihardjo, Eko. (1997) : tata ruang perkotaan, PT alumni, bandung

• Hedman, Richard & Jaszweski. (1984) : Fundamentals of urban design, Planner Press. Washington DC

• Kamil, Ridwan. (2007) : Diskusi nasional : pembangunan kota yang parsipatif dan berkelanjutan bagi kepentingan publik. IAI, jakarta

• Kamil, Ridwan. (2006) : menyelamatkan peradaban dengan desain, _ , Bandung.

• Kotler, phillip (1993) : Marketing Places: Attracting Investment, Industry, and Tourism to Cities, States and Nations, Free Press, New York.

• Kusumawijaya, Marco. (2006) : Kota rumah Kita, Borneo Publishing, Jakarta.

• Sutanudjaja, Elisa : Arsitektur dan Ekonomi Kota.

• Trancik, Roger. (1986) : finding lost space :theories of urban design. Van Nostrand Reinhold. New York.

• Tschumi, bernard & Cheng, irene. (2003): The State of architecture at the beginning og the 21st century. The Monacelli Press, Columbia

• http://www.e-architect.co.uk/singapore_architecture.htm : 10/10/07 08.12 AM

• http://www.ura.gov.sg/about/ura-conceptplan.htm : 10/10/07 09.16 AM


Note: Paskalis Khrisno Ayodyantoro adalah pemenang pertama Urbane Fellowship Program. Mendapatkan Travel Fellowship dan kesempatan mengikuti workshop Cityscapers Design Residency di Edinburgh, Skotlandia pada bulan Maret-April 2008. Tulisan ini adalah karya tulis yang dikirimkannya untuk mengikuti Urbane Fellowship Program.

Melanjutkan Bandung

Artiandi Akbar

Siang itu hari sangat panas, seperti gurun tanpa onta. kiri kanan jalan adalah bangunan komersil & parkiran mobil, sedangkan ditengah, melaju kencang mobil sporty anak-anak gaul, diikuti bus damri yang begitu rajin memberikan kita asap hitam yang sangat menyehatkan. Kala itu saya sangat senang sambil terbatuk-batuk keracunan.

Saya menunggu teman saya, sebut saja Dorce. Sambil duduk di pinggir jalan, di bak bunga tak berbunga, menyaksikan kelakuan masyarakat urban. Cerminan diri

Begitu banyak perubahan kota yang terjadi, penurunan tepatnya. Perkembangan budaya yang tidak disertai infrastrukturnya..fyuuh….enough said.

5 jam kemudian datanglah Dorce, “kemana saja kamu Dor?”, tanya saya, “susah angkot, macet, nyasar, ga enak jalan kaki, trus janjiannya ditempat yg ga enak sih”, kata Dorce nyari alesan nyalah-nyalahin kota…hmm. Dorce adalah seorang vokalis band metal yang baru pulang show dari London, UK. Kami berdua bergegas mencari tempat untuk duduk-duduk, untuk sekedar mengobrol, mendengarkan pengalaman dia ketika mengunjungi London.

Setelah 5 jam berjalan kepanasan, kami tidak juga menemukan tempat duduk untuk mengobrol, padahal Dorce mau menceritakan bagaimana kehebatan London sebuah kota terbaik dunia, sangat ironis dengan Bandung katanya.

Akhirnya kami duduk di sebuah kios, dan Dorce sudah mulai terlihat siap membantai keadaan kota ini dengan kritik-kritik komparatifnya, Dorce mulai bernarasi, bibirnya merekah mengobarkan smangat pembangunan Bandung yang selalu ingin di Realisasikannya, ya itu. REALISASI.

“Ndi, London sama Bandung tuh ga beda jauh lo ne'….. kalo di liat dari segi geografis sih pasti beda, tapi kalo diliat dari sisi lain yang ga kalah penting, banyak banget kesamaan yang bisa dijadiin 'sekedar pembelajaran' buat kota ini loh Ndi, apalagi buat kamu yang katanya calon arsitek”. Hmmm and this intro, lead us to an interesting discussion…..

2007. Zaman sudah begitu pesat berkembang, jadikanlah kota-kota di Negara maju sebagai parameternya, London kata Dorce. Bila kamu tipe-tipe anak nongkrong perpustakaan, bukan hal yang asing jika melihat London kerap muncul di buku-buku teori dan dijadikan standar kota pembanding, selective city, berdasar pada keberhasilannya di berbagai aspek. Dari hal itu dorce mulai membangga-banggakan London yang kini menjadi salah satu kota terpenting di dunia,

London is today one of the world's leading business, financial and cultural centres,[6] and its influence in politics, education, entertainment, media, fashion and the arts all contribute to its status as one of the major global cities (wikipedia)


Kenapa kita harus enggan bermimpi menjadi kota seperti London? Kita memiliki banyak 'potensi' yang juga dimiliki London. Really?..yeah hal itulah yang seharusnya disadari dan membuat kita gemas mengapa dengan potensi yg hampir menyaingi, kita berbeda jauh dengannya. Permasalahan ini juga yang membuat saya termotivasi sebagai mahasiswa arsitektur semester 5 untuk berkarya tulis, ketimbang memilih masalah umum perkotaan seperti lebar pathway yang susah banget ditambahin sama pemerintah dari dulu. Selain itu, dalam scope Bandung, permasalahan 'potensi kota' ini menjadi begitu sensitif!

Sebelum menjelaskan apa potensi tersebut, Dorce memulai diskusi dengan deskripsi singkat London vs Bandung…ada-ada saja.

London memiliki bentuk kota yg kompakt dan radial, memusat seperti Bandung, 'the city” adalah alun-alun milik London. Selain itu kejadian historis seperti Bandung Lautan api juga terjadi di London pada tahun 1666, namanya Great Fire Of London, keduanya pun sama bakar-bakaran kota, peristiwa ini menggambarkan kedua kota mengalami masa rebuilding pada beberapa kawasan tertentu setelahnya, kemudian ini tentunya mengakibatkan lack of architectural unity pada kesinambungan karakter masing-masing kota. Dari sini dorce menyimpulkan, secara form and shape, fisik kota tidak terlihat perbedaan yg mencolok, bothly we are nearly the same.

Tapi kesamaan fisik bukan yang terpenting kata si Dorce, hal terpenting yang dapat membuat London kini bisa menjadi kota yang terdepan adalah sesuatu yang disebut, industri kreatifnya, ekonomi kreatif & intensitas kreatifitas masyarakatnya!. Dan perlu disadari kata 'kreatif' itu sendiri kini merupakan label yang disandang masyarakat kota Bandung!

Katakanlah musik, fashion, arsitektur, design dsb., bandung ternilai kreatif di kelas nasional maupun internasional. Dan itulah 'potensi' terpenting kota ini. Sebuah wacana yg sedang marak dibicarakan. Sebuah wacana yang harus terus kita lanjutkan.

Tidak heran, seperti yg dikatakan si wikipedia dan Richard Florida tadi, kemajuan di salah satu bidang bisa menginfluence kemajuan bidang lainnya, bila sadar potensi ini kita bisa dioptimalisasikan, permasalahan kota yg lainnya otomatis akan ikut ter-cover, skrg kita sudah menelaah apa yg menjadi 'core'nya, sehingga permasalahan kota yg akumulatif ini bisa diperbaiki secara akumulatif juga, analisisnya secara umum ke khusus, tampak pintu dulu, baru detil sambungannya, jgn sampai langkah kita bagus tapi sama sekali tidak efektif tidak sustainable, planning-nya matang, tapi ga tepat. Itu yg sering terjadi, ujung-ujungnya “waste of time” dan “trauma”. Begitu katanya, sangat 'analitif'.

Kota kreatif merupakan jawaban yang saya kira sangat tepat untuk Bandung!, ini 'core' nya! Dengan ini, kita benar-benar menggali potensi kreatif kota, kemudian meraup keuntungan ekonomi kreatif yang besar darinya, dan selanjutnya dengan mudah memperbaiki permasalahan kota yg lainnya. Sangat taktis dan efektif! Namun tidak cukup sampai disitu saja, banyak kendala yang dihadapinya nantii. Tapi ini yang harus kita lanjutkan, ini sangat 'visioner' jgn sampai kita gap-gapan, kita harus satu visi dan creative city secara analisis, positif validitasnya . “jangan ganti dan beda-beda fokus dulu, ayo kita sama-sama lanjutkan sampai beres!“

Arsitektur sebagai disiplin ilmu, tentu saja berperan dalam pengembangan kota kreatif itu sendiri, namun kini kenyataannya pemerintah dan para arsitek/urbanplanner jarang menemukan titik temu, saling menunggu spill-over masing-masing. Dan menurut dorce, sosialisasi, networking dan pembuktian yg nyata adalah langkah yg bijak. Aktif. Menjemput bola

Kalau di London ada yang namanya GPA (General Public Agency), yg mana merupakan sebuah lembaga think-thank yg banyak melakukan riset dan mengembangkan proyek-proyek di ruang urban, kerjaanya terkait konsultasi penyusunan kebijakan-kebijakan publik dan proyek regenerasi di ruang urban maupun rural.Oorang-orang di GPA isinya para arsitek, designer, urban planner, atau jurnalis kota. Disinilah hebatnya! arsitek London punya inisiatif dan aktif berkerjasama dgn pemerintah. ini yg namanya, “Pandai mencari celah. apapun diwirausahakan untuk maju”, kata dosen kewirausahaan saya

Kita kembali ke Dorce,…hmm masyarakat London begitu intense terhadap industri ini, bagaimana tidak, keadaan kota disana benar-benar mendukung budaya dan potensi 'kreativitasisme' itu sendiri untuk berkembang. Lalu, Bagaimana kejadiannya dengan di Bandung? Dan bagaimana keadaan sebeneranya kondisi masyrakat Bandung sendiri?

Yang mengagetkan secara SDM, komunitas Bandung ternilai unggul dan keberadaan talenta baru ini muncul tanpa infrastruktur yang memadai, bahkan minim akan fasilitas., namun potensi ini tidak akan lama bertahan jika tidak didukung oleh kota tempat berhabitasi mereka sendiri. (Gustaff Hariman. International Young Creative Enterpreuner of The Year Indonesia 2007)

Whup! kita sudah dapat inti permasalahannya, infrastruktur itu sendiri kendalanya! Sosialisasi dan dukungan masyarakat dapat kita peroleh ketika mereka sendiri merasa terlibat, merasakan manfaat langsung dari bukti kongkritnya! Ketika kita aktif berkarya untuk kota.

Saya sedikit ragu dengan kata-kata Dorce, lalu saya bertanya “emangnya masyarakat udah siap? kalo fasilitas di bangun, apa masyarakat akan otomatis memanfaatkannya sesuai tujuan?” well…dengan tenang Dorce menjawab, “bila tidak ada yg memulai bagaimana mau berubah kota ini, kita sebagai org berilmu dan sadar akan itu harusnya mengacungkan tangan dan segera memulai, bukan jamannya lagi saling menuntut, saling lempar tanggung jawab. Budaya akan mengikuti perkembangan lingkungannya, ga percaya? ambil saja budaya cofeeshop akhir-akhir ini.

Dulu orang-orang tidak dekat dengan budaya chillout-share, laptop, hot-spot dan berlenggang di coffeshop. Namun kemunculan retail cofeeshop dari yg mahal sampai yang tradisional di berbagai spot kota yang gencar, otomatis membentuk budaya kekinian tersebut.

Mengapa bisa? Karena cofeeshop itu sendiri yang berbicara, dan memberikan manfaat kongkrit bagi si penggunanya! Sama halnya dengan infrastruktur industri kreatif ini! bila benar-benar bermanfaat masyarakat pasti akan mengoptimalkannya!

Mulut Dorce sudah mulai membudah, dan kali ini dia lebih bersemangat ketika memberikan usulan-usulan pada saya, mengenai apa yg kita bisa usahakan dari segi arsitektur dan korelasinya dengan perkotaan. Untuk mendukung terwujudnya kota kreatif itu sendiri. Hmmm kemudian dia menyuruh saya untuk mencatat dengan seksama..

Public space

“siapa yang tidak mau siang-siang duduk di taman yang teduh, mendengarkan Aretha franklin sambil menggambar, rumputnya hijau, pohonnya banyak, tempat duduk bersih nyaman, jauh dari kesibukan jalan raya, kolam air mancur bermuncarat-muncratan, sculpture outdoor karya seniman, iklim mikro yang selalu diidam-idamkan, oasis para Gujarat arab. “


Public space di London tuh 'pabalatak'. Hyde park yg paling terkenal, nih saya dapet petanya kemarin

Kebayangkan hamparan hijau, di tengah padatnya kota. Public space tuh contoh akomodasi kreatifitas yg penting! Disini kita bisa share, mengadakan performance di amphitheatre, street-exhibition, cari inspirasi, baca buku dsb. Selain itu dapat menjadi paru-dapat kota yang baik, menetralisir asap2 bus damri sialan tadi, kemudian kita bisa jogging atau jalan-jalan sama kecengan hmm…. Efektif bukan? Sekali mendayung 2-3 pulau terlampaui.

Di Bandung memang sudah ada, TAPI. Public space dipake untuk kegiatan mesum, premanisme, mabuk2an, Kotor, atau pagarnya di konci supaya ga bisa masuk..beuh... sangat jauh perbandingannya, baik itu kurang hijau, panas, letaknya bukan di kawasan startegis (city centre) Kemudian tidak dilengkapi dengan street furniture yg memadai, padahal elemen-elemen detil tersebutlah yg bisa membentuk keseluruhan public space yang optimal.


Sculpture outdoor, community murals, land art, site specific arts, the design of paving and street furniture, and performances as art. (Art Space. And the city / public art and urban futures, Malcolm miles 1997; london)

Well, bukankah hal tersebut adalah potensi kita? Aspek ekonomi kota kita? Kekayaan seni dan arsitektur perkotaan kontemporer yg harusnya kita emban?

Masih banyak lagi yang bisa dieksplor, semisal plaza ditengah kompleks perbelanjaan seperti Harrods di London. Nah kalo kita kan punya Dago, punya Buah Batu, tapi kenapa kita tidak punya public space di kawasan crucial tersebut? Padahal daerah tersebut merupakan trafficing anak muda, pelajar dan insan-insan kreatif lainnya.

Di public space kita bisa berinteraksi dgn optimal, mempertemukan si gated community/the haves, dengan si common atau bahkan si the poor, ya kan?. Sehingga dapat meminimalisir dampak segregasi spasial maupun social.

Library

Akses informasi yang paling praktis. Kreatifitas sangat ditunjang dari seberapa banyak ilmu dan informasi yg didapat. Selama ini komunitas di Bandung terkeok-keok bergerilya mendapatkan akses informasi, sehingga ujung-ujungnya terjadi 'wild capitalism' pada kota ini, Dimana yg kaya yg memiliki akses informasi terbesar, dan dapat bisa berkreasi dgn baik, bertolak belakang dengan si miskin yg kesulitan akses, terduduk kalah, termonopoli.

Hal ini akan menyurutkan terjadinya kompetisi kreatif, dan dampaknya bisa membuat kreatifitas itu sendiri mati perlahan-lahan, mandul atau stagnasi. Karena tidak ada persaingan yang kontinyu untuk menjadi yang lebih baik atau terbaik di benak masyarakatnya.

Idealnya, setiap masyarakat dapat mengembangkan potensi kreatifitasnya dengan jatah akses informasi yang sama, sehingga kompetisi kreatif yg terjadi juga sehat dan maksimal! Dan secara teori, bila kompetisi yg terjadi sangat sengit, karya2 yang bermunculan pasti akan jauh lebih hebat!

Saya anak unpar, tapi rajin berkunjung ke perpustakaan arsitek ITB, tapi sayangnya saya ga bisa minjem buku satupun dari sana, bila ingin membaca disana juga sebelum buku selesai dibaca, perpustakaan keburu tutup karna sudah jam 4 sore. (yaaaah) padahal saya juga terdaftar sebagai mahasiswa Interior ITB, tapi tetep aja ga bisa,,,beuh ,sehingga saya harus terus2an membebani teman saya yang anak arsitek ITB untuk minjem satu buku tiap minggu…..damn. (curhat)

Kembali ke Dorce dengan Londonnya, di London terdapat Library yang sangat sangat lengkap, yang berada di city centre, and its free. Semua bisa pinjam, bisa baca. Berbeda dengan di Bandung, ketika perpustakaan terdapat di soekarno hatta yg jauh dari mana-mana, kondisi sekitarnya gersang, berdebu dan tidak ada segi menariknya sama sekali. Bagaimana masyarakat mau baca? Ketika mau datang juga enggan. ''Apa selaku arsitek kamu ga merasa ada sesuatu yang salah Ndi?“

Beberapa komunitas di Bandung berinisiatif, membuat library kecil2an seperti Tobucil, Ultimus, Rumah Buku, dsb. Dan itu sangat positif! Namun akan lebih sangat mantap jika ada perpustakaan besar, terletak di Dago, dengan fasad modern yg menarik, ada retail coffee shop dan pizza, hot-spot, diluarnya ada taman hijau untuk duduk-duduk, dan akses pedestrian begitu dimanjakan, waaah..bahkan orang yang tidak suka baca pun akan ke sana, dimana arsitektur berperan dalam memasyarakatkan budaya intelektual perkotaan. Dan terus memfasilitasi kreatifitas masyarakatnya. Wonderful.


Urban tourism

Urban Tourism juga menggemaskan hati Dorce. Situs, monumen, bangunan-bangunan bersejarah, craft, factory outlet, cothing store, rumah makan daerah dago dsb adalah kekayaan Bandung. Disadari atau tidak, Bandung itu juga sangat kaya akan Urban tourism. bila kita visioner dan kreatif, kita bisa memanfaatkan hal ini untuk kemajuan kota juga. Aspek ini terkait dengan arsitektur dan perkotaan.

Sekarang jangan dulu kita bandingkan dengan London, deket saja, kita semua sudah melihat Singapura berhasil maju dari sektor ini. Padahal, segmen modal yg dimiliki jauh lebih rendah dibanding Bandung, tapi hebatnya, justru 'PACKAGING'nya yang begitu dramatis, fantastis, memanjakan mata turis. Bagi wisatawan asing, Apa bagusnya Kranji dibanding kawasan Braga, kekayaan art deco F.J.L Ghijsels atau gua Jepang? Pasar wisatawan asing justru menggemari segmen-segmen seperti di Bandung, namun sayang pengemasannya selalu dikesampingkan, ini harus kita contoh, seekor Singapura yang melonjak diantara Negara Asia tenggara lainnya lewat tourism.

Konsep seperti ini akan meningkatkan kekayaan budaya-berbudaya masyarakat Bandung, sekalian juga memperoleh keuntungan finansial. Contoh: Toko-toko souvenir searusnya dimiliki Bandung, ketika Yogya memiliki malioboro atau Bali dengan sukowatinya. Bandung juga seharusnya memiliki kawasan yg bisa memfasilitasi masyarakat untuk berkarya dan berekonomi. Kawasan tersebut pasti menjadi target utama berbelanja para wisatawan asing.


Kemudian Dorce berbicara tentang sistem, tentang betapa kuatnya system di London; Orang yang masuk ke kota London harus bayar pajak masuk kota! Keluarnya gratis. Kedua, se-modern apapun jaman, London masih mempertahankan kuantitas & kualitas image tersendirinya, bayangkan interior store pakaian mewah dengan fasad gothic di eksteriornya. itu namanya memanfaatkan urban tourism dari segi yg pintar.


Gallery. Concert hall. And museum

Art gallery sudah banyak bermunculan di Bandung, dari Sumarja, galeri kita, Nu Art, Selasar Sunaryo, dsb. dan hal tersebut terbukti membawa dampak yg positif.

Keluhan yang terjadi justru dari kalangan musisi, Bandung padahal gudangnya musisi berkualitas baik indie maupun major. Mereka mengeluhkan minimnya fasilitas konser, dulu masih ada Gor Saparua, Laga pub, TRL bar, dsb. Sekarang sudah minim banget, terbatas regulasi dan biaya. Padahal musisi-musisi Bandung musiknya seringkali menjadi perhatian international terutama eropa dan australia, sekarang yang bisa mereka lakukan paling bergerilya lewat jaringan internet, myspace.com dsb. Sangat menghawatirkan

Museum di Bandung sangat parah keadaannya. Benar-benar memprihatinkan, siapa yang mau ke museum kecuali anak SD, atau anak SMA yang ngerjain tugas Sejarah. Minat warga bukan yg seharusnya disalahkan, museum di London selalu menarik untuk dikunjungi baik bagi turis maupun warga lokal, semuanya tuh interaktif, ga bosen, tempatnya bersih, ada pertokoannya. Seru!

Banyak yg bisa diolah mengenai perihal histori dan hegemoni selain lewat museum, seperti street monument, sculpture, dsb. Semuanya juga merupakan karya kreatif. Bali dengan GWK nya adalah suatu yg spektakuler nantinya, di London banyak ditemui Karya2 sculpture Jonathon borofsky, Rachel whiteread, Tess jaray, dan semuanya menghasilkan estetika kota yang menarik, dan bisa jadi ladang pekerjaan bagi para kreator bandung sembari meningkatkan image kota dengan memasyarakatkan histori-hegemoni kota.

Pertanyaannya, mau taro dimana? Disini sang arsitek berperan, ketika seharusnya kita memaksimalkan peran Public space, stasiun, pavement, plaza, bahkan pedestrian sekalipun. Ini merupakan kelebihan kota tersendiri, yg dapat menarik banyak wisatawan yg nanti pada bayar kalo masuk kota. Right?

Dan kelak lembar lembar postcard berisi foto wisata Bandung pun laku terjual. hehehe..amin

End

Hmmm..well .So…..apa masih mau terus2an bikin Mall & parkiran mobil, Ndi? Masih mau egois & berpikir jangka pendek ndi? Kata Dorce… Manusia butuh arsitektur, manusia Bandung butuh arsitektur Bandung, manusia bandung yang kreatif butuh arsitektur Bandung yang kreatif, yang dapat mewadahi kreatifitas mereka. Visinya udah ada nih, sekarang siapa yang mau melanjutkan misinya. oke ndi.

Itu yang saya dapat. Hampir semua aspek yang diobrolkan tadi selalu terkait dengan ekonomi, mau tidak mau, karena perkembangan kota pasti menggunakan uang, yang dorce tawarkan bersifat ‘project oriented', kenyataan di lapangan. Ketika uang bisa mematikan cita-cita mulia kita, oleh karnanya dia mengutamakan langkah yg secara potensi tepat dan secara ekonomi paling tepat, biar semuanya terjadi! Bentuknya kongkrit terlaksana, prosesnya bertahap tapi memungkinkan untuk mengatasi problem secara menyeluruh. semoga saja, amin. Diskusi tadi benar2 membuat saya terbuka & penasaran ingin tahu lebih detil mengenai London, pemerkarsa kota kreatif dunia.

Learn from the sure source katanya…

Hari sudah senja, kata-kata dorce selalu terngiang-ngiang di kepala saya, apa yang dibutuhkan sekarang bukan lagi wacana dan wacana dan wacana dan wacana. Permasalahan memang banyak, di dalam permasalahan tersebut pasti timbul permasalahan baru, solusi telah banyak ditawarkan namun selalu pelaksanaannya yang kurang, melanjutkan Bandung adalah bagaimana yang kita lakukan sekarang, mau atau tidak? mau sama sekali atau tidak sama sekali? Dorce dan saya serta teman-teman di kampus sudah cape dan gemes ingin maju…mau sama sekali!


akhir cerita,,,

semoga saja tulisan ini bisa bermanfaat untuk kemajuan kota Bandung, ....walaupun kecil.

Insya allah


long live bandung and Indonesia.

wassalam

artiandi akbar (Andi).

Note : Artiandi Akbar adalah pemenang kedua Urbane Fellowship Program 2007 dan mengikuti program workshop Cityscapers Design Residency di Edinburgh, Skotlandia pada bulan Maret-April 2008 yang merupakan program kerjasama dengan British Council. Tulisan ini merupakan karya tulis yang dikirimkannya untuk mengikuti Urbane Fellowship Program 2007.

Thursday, July 3, 2008

The Unsustainable Jakarta

M. Ridwan Kamil

[AGORA] HERE comes again a classical complaint: Jakarta is getting crammed, hazy and unpleasant. Today, more than 15 million people are squeezed during the daytime in the 65,000-hectare city and leave 9 million others at night. With that size Jakarta is considered as a truly megapolitan city -in notorious image of course. That number also contributes to today's 5.8 billion world population, in which for the first time in history, half of them will be living in urban areas. It is forecasted as well that this inexorable urbanization will make The Greater Jakarta Metropolitan Area (JABOTABEK) packed by 37 million people in the year 2015.

Haphazardly plotted as the center of Indonesia's economic activity by dominating 75 percent of capital circulation, Jakarta turns out to be a peerless allure for so many migrants with so many hopes. Thousands of middle and low class individuals flock to Jakarta every year scrambling to taste a bit of economic pie, and trying to find the path of their fate there. The flow of this unstoppable headlong urbanization then becomes an annual pilgrimage -a ritual in its own right.

Reading urbanization as a migration flow from rural to urban areas is not always true. From the year 1990 to 1995 in Jakarta, 61,7 percent migrants were from urban areas while only 35,9 percent were from rural areas. This indicates that there is also a big gap in urban-to-urban economic development especially between Jakarta and the rest of Indonesian cities.

The consequence of this economic disparity then comes with a price -the expensive one. Some are succeed in finding their bliss, but mostly failed. Accelerated by ongoing monetary crisis, the growth of population in Jakarta then somehow always relates to poverty. The population now is caught in a pattern of growing bigger without growing richer.

This agglomeration of poor population leads to another common problems: the need for jobs and housing. Since the number of jobless people increase by the crisis, some of the unskilled individuals find themselves desperate and frantically take a shortcut by becoming a criminal. Now every 200 seconds, one crime scene occurs in Jakarta, and 78 individuals per 100 thousand people are vulnerable by crime.

Under the New Order regime, the government of Jakarta also failed to provide adequate housing for its citizen. The great demand for affordable housing were often overlooked. Ironically within national level, the housing for middle and affluent class are over-supplied by 45 million units, while the affordable housing for low-income is always in a shortage situation. This imbalance is also worsen by the fact that 30 trillion rupiahs of capital debt are rooted from the property industry.

In terms of imbalance between built and natural environment, we have yet another serious problems. The chosen settlement developments pattern that haphazardly imported from the West, the suburbia model, creates perpetual environmental degradation, traffic jams, faceless sprawl, and heightens social inequity.

The market-driven model, stretching out from Bogor, Bekasi to Tangerang, has been chosen and implemented excessively in and around Jakarta, and built largely for affluent society only.

This sporadic sprawl generally devastates the green belt, rice fields, trees and the rest of natural landscape making them unable to filter pollution and provide habitats for wildlife. The recent flood accident overfilling Sedyatmo toll road in Cengkareng was just one case among others that triggered by such development. In other words, the ecological footprint of development in Jakarta has superseded its natural carrying.

Such model also ignores the importance of building a reliable public transport, and assumes that we all have a car to commute. Yes, Jakarta is becoming an automobile dependence environment, and Yes, we have fallen into a trap where we have no choice, unless we own one.

The ironic thing though, in the West this model is in the process of being discarded and replaced. Now, they realize that the most sustainable model is the one that rely efficiently on good public transport not automobile. The so called "Transit Metropolis" concept is now emerging everywhere from Singapore to Curitiba in Brazil, from Stockholm to Greater Tokyo.

This transit-based development is proven to be a fine model since it addresses most of the critical issue on physical sustainability with less impact on environment. Meanwhile in Jakarta, the government is still baffled among themselves on how to deal with it, and only acts fragmentarily by implementing the infamous 3-in-1 concept, approving more suburban estates and adding more toll road that turn out to be a worse case.

CAUGHT in a tiring traffic in Jakarta also becomes an inevitable ritual for its people. As the morning sun hits the road or as dusk shrouds the city, 6 million people are involuntarily jammed on a boring winding traffic, flocking back and forth from their gated suburban homes to their office, mostly in the central area of the city.

The length of traffic jam could as bad as 3-5 kilometers as seen every morning along Kebon Nanas Toll gate, where residents of gated-community estates, such as BSD, Alam Sutera, Gading Serpong, Villa Melati or Villa Serpong, clog the road scrambling as fast as they can to reach their office in downtown Jakarta. The scenes within the downtown Jakarta are even worse.

The incremental number of automobile -85 cars per 1000 people in 1997- worsen the situation. Within the downtown area, the average speed is around 8 kms/hour. It's below the tolerable 12 kms/hour international standard. The slow movement of automobile of course releases more pollution into air, and make the air pollution level in Jakarta excruciating.

Such a pity, if one wants to see the blue bright sky in Jakarta, one has to patiently wait until big holiday, like Lebaran or Christmas, comes by, where people and cars will be seen less. Otherwise, one has to take hazy days as a permanent curse from the angry mother nature.

Meanwhile, the carrying capacity of ground water in Jakarta is also endangered. While only 50 percent of people in Jakarta have access to clean water, the ground water capacity which is only 114 million cubic-meter/year is being threatened by 300 million cubic illegal use every year. This unequal and excessive use by the vast population also makes the level of soil surface in Jakarta shrink around 4-9 cm annually. Even in Northern part of Jakarta, for the last ten years, the level of soil surface has already lowered around 0.3 to 1 meter.

***

Okay, enough for the headache. What should we do now?

Well that's another story. This article only wants to show that the way the government of Jakarta deals with spatial planning is definitely creating unsustainable environment and threatening the nature's carrying capacity in handling Jakarta's enormous population.

If we take the concept of sustainable development as described by the United Nations World Commission on Environment and Development or The Brundtland Commission as "the type of development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs", then the government of Jakarta has to re-oriented their approach and vision in dealing with the urban planning of Jakarta. By so doing, our children will at least be experiencing the same privilege as we have today, if not better.

Otherwise, we will fall again into a trap, like the 32-year New Order regime had put us into, by breathing and living in a pseudo-modernized environment without even knowing it.

Arsitektur Kota Anti Kota

M. Ridwan Kamil


Suatu sore temaram di Kuala Lumpur. Udara di Bukit Bintang Walk terasa sangat menyenangkan. Dari teras sebuah kafe, secangkir cappuchino hangat pun saya seruput dengan perlahan. Tiap menit, koridor jalan ini begitu hidup dengan lalu lalang para pelancong dan warga lokal. Toko, restoran dan kafe pun buka sampai larut malam. Cahaya dari dalam toko menghangatkan suasana. Kaca-kaca transparan di restoran dan café membuat rasa aman para pelancong seperti saya. Di sini, Starbucks pun digelar ala kaki lima di jalur pejalan kaki.

Sepanjang mata memandang, suasana dan cuacanya mengingatkan saya dengan kota Jakarta atau Bandung. Namun di sini terasa ada yang berbeda. Di sini tercium aroma Asia yang terasa lebih bersahabat. Terasa jauh lebih beradab. Koridor ini terasa seperti ruang keluarga. Sebuah ruang sosial yang hangat.

Kuala Lumpur, seperti halnya kota-kota dunia yang masuk kategori ‘world great cities’ umumnya memiliki kepedulian akan pentingnya ruang-ruang sosial kota. Dari London sampai Shanghai, dari New York sampai Singapura, semua memperhatikan ‘social space’ sebagai bagian dari ruh kehidupan sebuah kota. Kemajuan peradaban, teknologi dan kompleksitas budaya tidak seharusnya merusak definisi bahwa kota adalah untuk manusia.


Ruang sosial kota pun tidak melulu berupa alun-alun atau taman kota, tapi justru koridor jalan lah yang merupakan ruang sosial kota terpenting. Di sanalah deretan bangunan hadir dan bersentuhan dengan publik. Di sana pula, umumnya berjajar karya arsitektur pro publik yang sensitif menghidupkan kota atau malah berderet karya arsitekur anti publik yang mematikan ruh kehidupan kota.


***

“The city is the people” begitu ungkapan sebuah pepatah tua. Begitu dalam maknanya, namun begitu berat mengaplikasikannya. Di Jakarta, kehidupan kota lebih terbiasa diselami dari balik jendela mobil. Kasihan orang Jakarta. Sudah diberi iklim panas tropis, tidak ada pula sarana untuk berbudaya urban yang positif karena memang tidak pernah disediakan secara memadai. Tidak disediakan karena tidak menjadi prioritas. Tidak diprioritaskan karena kita umumnya tidak memiliki mentalitas membangun ruang publik.

Mentalitas anti budaya urban ini juga lahir dari lingkungan fisik yang dirancang para arsitek. Banyak arsitek yang memiliki proyek-proyek komersial dan dalam skala besar tidak memiliki sensitivitas terhadap konteks kota. Mereka hanya fokus pada arsitekturnya tidak pada konteksnya. Sehingga bermunculan belasan dan puluhan bangunan-bangunan anti urban yang semakin akut.

Apa ciri-ciri desain anti urban?

Fungsi non-publik di lantai dasar.

Salah satu ciri kota yang aktif secara positif adalah hadirnya fungsi-fungsi publik atau retail di lantai dasar sebuah bangunan. Di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, lantai dasar sebuah bangunan besar umumnya adalah ruang lobi formal yang tidak menyumbang apa-apa bagi kehidupan kota. Lihat Hong Kong. Sepanjang kita berjalan semua lantai dasar bangunan-bangunannya selalu diisi oleh toko, retail, kafé atau fungsi-fungsi publik yang membuat kota hidup dan atraktif sampai larut malam.

Kapling-kapling egois

Manusia sebagai mahluk sosial berkewajiban berperilaku sosial yang positif dan bertoleransi antar sesama. Begitu pula arsitektur kota. Seharusnya antar bangunan satu dengan lainnya bertoleransi dengan memberikan ruang untuk kelancaran publik bernegosiasi terhadap ruang kota. Di Bukit Bintang Walk di Kuala Lumpur, antar bangunannya tidak di kapling-kapling dan dibentengi ala Jakarta. Pedestrian di sana leluasa bergerak dari satu bangunan ke bangunan lain. Bahkan di Hong Kong antar bangunan dikoneksi dengan jembatan untuk publik.

Parkir dan drop-off di halaman depan.

Ruang paling berharga dalam konteks kota adalah ruang terbuka di depan bangunan, yaitu area dari batas lahan ke garis sempadan bangunan. Sayangnya para arsitek di Indonesia dengan rasa tidak bersalah selalu menjadikannya sebagai ruang parkir dengan drop-off formal. Parkir sebenarnya bisa langsung ke basemen dan drop-off bisa dari jalan samping atau di dalam kapling. Area inilah yang bisa berpotensi menjadi ruang sosial publik berupa ruang hijau, ruang duduk atau ruang luar dari sebuah kafe di lantai dasar. Perilaku desain ini yang dihadirkan di ratusan bangunan di kota-kota besar di Indonesia benar-benar mematikan potensi lahirnya kehidupan yang beradab dan aktif.

Banyak yang tidak sadar, perilaku negatif yang sedikit banyak dilakukan oleh para arsitek inilah yang mematikan budaya urban yang seharusnya lahir oleh arsitektur kota yang baik. Ibaratnya seperti aborsi yang membunuh bayi dalam kandungan sebelum ia lahir.

Jadi bagaimana mau bermimpi memiliki budaya kota yang baik, jika esensi tentang arsitektur kota saja kita tidak pahami.