Wednesday, November 25, 2009

[Refleksi perjalanan di Australia dalam rangka Urbane Fellowship Program 2] Oleh: Pembayun Sekaringtyas

Membangun Kota Berwawasan Lingkungan


[Refleksi perjalanan di Australia 29 Juli-24 Agustus 2009 dalam rangka Urbane Fellowship Program 2]
Oleh: Pembayun Sekaringtyas

Sejarah mencatat telah banyak peradaban kota yang tumbang akibat bencana iklim, sebut saja negara-kota Maya di Meksiko dan Amerika Tengah atau Angkor di Kamboja. Para ilmuwan meyakini bahwa degradasi lingkungan akibat ulah manusia menjadi akar penyebab hancurnya kota-kota tersebut menjadi necropolis, kota mati dalam istilah Lewis Mumford.

Ambisi mengubah bentang alam menjadi habitat manusia tanpa mengindahkan daya dukung lingkungan menjadi potret buram dari hikayat tumbuh kembangnya kota-kota di dunia. Maka dewasa ini ketika pergolakan iklim secara global mengancam, tak pelak lagi paranoia melanda hampir di segala penjuru planet bumi. Perencanaan dan desain kota akan memainkan perananan penting di dalam mewujudkan kota yang berkelanjutan.
***
Australia, negara benua dengan tingkat urbanisasi yang cukup tinggi terutama di sepanjang pantai timurnya, terbilang cukup maju dalam langkahnya mengetengahkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam perencanaan kota. Hampir setiap kota besar di Australia berlomba menjadi kota paling livable dan paling sustainable. Di atas kertas, visi tersebut rasanya tidaklah terlalu muluk untuk diwujudkan. Benchmarking livabilitas kota tahun 2009 yang dipublikasikan oleh The Economist memposisikan tiga kota besar Australia: Melbourne, Perth, dan Sydney masuk ke dalam sepuluh besar kota paling livable di dunia.

Kehidupan kota dapat ditelusuri jejaknya berangkat dari elemen biosfer yang paling erat dengan kehidupan manusia: air. “Everything originated is the water. Everything is sustained by water,” kata Goethe. Kilau air adalah halaman muka bagi kota-kota di Australia. Semua kota besar Australia dibangun berdekatan dengan sumber air, sungai atau laut. Hanya Canberra satu-satunya kota pedalaman—bukan kota pelabuhan, meski ia tetap bersentuhan dengan air melalui danau buatan (dari sungai yang dibendung) di tengah kotanya.
Mendekatkan masyarakat kepada asal-usul kota melalui desain urban adalah salah satu cara mencapai sustainabilitas secara sosial-budaya. Itulah mengapa orientasi ke air selalu menjadi daya tarik kuat. George Street, jalan utama di Kota Sydney, menjadi axis utara-selatan menuju ke Circular Quay yang berhiaskan Sydney Opera House dan Harbour Bridge. Canberra memiliki sumbu segitiga yang menempatkan Lake Burley Griffin sebagai komponen penting untuk mendefinisikan tiap sisinya. Sementara blok-blok grid Hoodle di Kota Melbourne dirancang di sisi Sungai Yarra. Di tepi sungai tersebut, ruang-ruang khalayak dan pusat kegiatan baru dibangun, seperti Federation Square yang menjadi ikon baru ruang publik kota, serta Southbank dan Docklands yang merupakan waterfront dengan beragam instalasi seni publiknya.

Meski sumber kehidupan, air juga dapat menjadi sumber petaka. Institute for Environment and Development, London (2007) menyebutkan bahwa lebih dari dua pertiga kota besar di dunia dengan total 634 juta manusia yang tinggal di daerah pesisir akan menerima efek negatif terbesar dari pemanasan global dan beresiko diterjang banjir. Ironisnya 70 persen metropolis dunia adalah kota pesisir. Hal ini disadari betul oleh kota-kota pesisir di Australia, seperti Sydney dan Melbourne yang telah memiliki rencana-rencana strategis inovatif untuk menanggulangi dampak perubahan iklim.

***
Kota adalah garda terdepan dalam usaha mengurangi dampak perubahan iklim, sebagaimana yang dikemukakan Clover Moore, walikota Sydney, “As the biggest emitters of greenhouse gases, cities are also the source of the biggest savings and the key to achieving post-Kyoto emission reduction targets”. Memahami hal tersebut, pemerintah Kota Sydney dalam rencana strategisnya mengembangkan jaringan instalasi pengolahan energi, air bersih dan limbah ramah lingkungan yang mereka sebut sebagai Green Transformers. Sesuai slogannya sebagai City of Villages, Kota Sydney membangun distrik-distrik yang dapat mendukung dirinya sendiri dalam radius yang dapat ditempuh pejalan kaki. Untuk menciptakan interkoneksi antar distrik, pemerintah mengembangkan lebih banyak jalur sepeda dan pedestrian melalui jaringan hijau sepanjang 12.6 km di seantero kota.

Proyek-proyek lain yang akan digarap untuk mendukung Sustainable Sydney 2030 meliputi pembangunan pusat aktivitas baru di Green Square yang desainnya akan mengadopsi karakter “fine grain” dari pola jalan tradisional untuk berkembang secara natural ke dalam komunitas yang multikultural, Three City Square—sebagai ruang komunal utama di axis Kota Sydney, pembangunan 700 unit affordable housing di Glebe, serta Eora Journey—sebagai bentuk apresiasi terhadap budaya kaum Aborigin melalui pengembangan cultural walk dari Redfern sampai pelabuhan.

Adapun Melbourne tengah berencana menjadi sebuah kota ekologis (eco-city). Tidak diragukan lagi bahwa perubahan iklim membuat kebutuhan akan bangunan yang berkelanjutan menjadi lebih relevan. Saat ini Melbourne menetapkan persyaratan five star energy sebagai standar minimum bagi pengembangan tiap bangunan baru maupun renovasi. Langkah tersebut telah dimulai sejak dibangunnya Council House 2 (CH2) yang disebut-sebut sebagai salah satu bangunan paling sustainable di dunia. Bahkan di tahun 2020 Melbourne menargetkan menjadi kota bebas emisi.

***
Sebagai negeri kepulauan dan negara berkembang dengan perekonomian yang masih tertatih-tatih, Indonesia juga menghadapi resiko besar terhadap segala dampak perubahan iklim. Saat ini Indonesia tengah dalam posisi memperjuangkan pengurangan emisi dari deforestasi. Usaha mencegah degradasi lingkungan sebagai upaya menanggulangi dampak perubahan iklim masih menjadi tantangan besar.

Eksplotasi sumber daya alam secara ilegal masih saja terjadi dimana-mana. Di beberapa, kota sungai masih menjadi halaman belakang, tempat membuang segala macam sampah. Tekanan penduduk dan jaringan jalan yang menggurita mengakibatkan lahan-lahan produktif untuk pertanian dan perkebunan menjadi semakin sempit. Kemampuan tanah meresapkan air pun semakin terbatas. Sementara air permukaan yang semestinya dapat diolah menjadi air bersih telah tercemar zat polutan dalam level yang membahayakan.

Pergerakan ulang-alik yang boros energi dan menyebabkan kemacetan lalu lintas menjadi pemandangan sehari-hari di kota-kota besar Indonesia. Alih-alih merencanakan transportasi massal yang ramah lingkungan atau merancang kota yang kompak, kota-kota kita justru giat memperlebar jalan dan membangun jalan tol baru untuk mengkoneksikan daerah-daerah suburban. Ada baiknya merenungkan kata-kata bijak yang diucapkan Enrique Penalosa, mantan walikota Bogota yang sukses mengembangkan busway di kotanya (yang di kemudian hari ditiru Jakarta), “If there is more space for cars there will be more cars, if there is less space, there will be less cars.”

Seakan mengamini Penalosa, Menteri Perencanaan Provinsi Victoria, Justin Madden berujar, “With good, smart planning and urban design we can influence the way people behave…” Di Melbourne orang-orang pun memilih berjalan kaki dan naik sepeda ketika kota menyediakan tatanan yang mendukung aktivitas tersebut. Jalur pedestrian yang lebar dengan pohon-pohon teduh di tepinya, sistem traffic calming yang memberi rasa aman, transportasi massal yang terintegrasi, dan rak sepeda di titik-titik transit. Di lain pihak pemerintah memberlakukan pajak progresif bagi kendaraan bermotor berdasarkan tingkat emisinya. Singkatnya, melalui perencanaan dan desain kota sebenarnya kita bisa mempengaruhi orang untuk berperilaku baik maupun buruk.

Standarisasi bangunan ramah lingkungan sudah semestinya dijadikan aturan baku oleh pemerintah. Pada faktanya usaha-usaha menciptakan lingkungan hunian hijau sudah banyak dilakukan oleh konsultan maupun pengembang di Indonesia. Diharapkan riak-riak kecil usaha perbaikan lingkungan yang inkremental dapat menjadi gelombang besar di seluruh pelosok negeri sehingga manfaatnya juga dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.

Melakukan usaha pembenahan lingkungan melalui desain kota tidak harus dengan serta-merta meng-copycat kota lain. Masyarakat memiliki kearifan tersendiri dalam hubungannya dengan alam. Potensi semacam inilah yang perlu digali melalui perencanaan yang partisipatif melalui musyawarah pembangunan, forum diskusi perkotaan, dengar pendapat, atau yang lebih inovatif lagi misalnya dengan wiki interaktif, dimana masyarakat dapat mengedit draft rencana kotanya secara online untuk kemudian dikaji ulang. Apalagi kota adalah melting pot tempat pertemuan berbagai macam kultur yang tentunya akan semakin memperkaya khazanah pembentukan kota itu sendiri.

Mengutip ucapan Levi-Strauss, “The city is a social work of art… Built up out of plans of thousands of individuals.”
Maka disinilah peran vital para perancang lingkungan terbangun, mengejawantahkan mimpi-mimpi warga kota dalam desain kota yang baik, yang dapat mempengaruhi individu di dalamnya berperilaku lebih baik lagi demi keberlanjutan kota.

1 comment:

daniel adi p said...

yap,setuju..
pemerintah kita memang harus banyak belajar mengenai perancangan kota yang baik dan benar guna menciptakan tatanan kota yg nyaman bagi masyarakatnya.,